Hampir seluruh muslim tidak asing dengan amalan ‘aqiqah, karena ‘aqiqah merupakan butiran sunnah yang mubarakah yang dijadikan tradisi kaum muslimin di seluruh dunia, sehingga sunnah ini seakan tidak pernah punah dari dunia pengamalan.
Defenisi
Istilah ini berasal dari kata “’Aqqa-Ya’uqqu-Aqqan” yang artinya membelah dan memotong, dan secara istilah adalah menyembelih kambing karena kelahiran bayi.
Hukum ‘Aqiqah
Jumhur ‘ulama berpendapat tentang sunnahnya ‘aqiqah berdasarkan sabda Rasulullah ?:
“Barang siapa diantara kalian ingin menyembelih (kambing) untuk kelahiran bayinya, hendaknya ia lakukan” (HHR. Abu Daud, Nasaa’i, Ahmad, Abdur Razzaq)
Hadits ini menunjukkan tidak wajibnya ‘aqiqah, sebab dalam sabdanya, Beliau memberikan kebebasan dalam memilih.
Orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan ‘aqiqah tidak perlu menunggu hari ketujuh untuk menamai bayinya, sebagaimana kisahnya Ibrahim bin Abi Musa, Abdullah bin Abi Thalhah, demikian juga Ibrahim putra Rasulullah ? dan Abdullah bin Zubair semuanya diberikan nama sebelum hari ketujuh dikarenakan mereka tidak di ‘aqiqahi.
Barang siapa yang mempunyai kemampuan untuk melaksanakannya, maka hendaknya dia mengakhirkan penamaan bayinya pada hari ketujuh (Lihat Fathul Baari 9/587).
Dalil-dalil Syar’i Tentang ‘Aqiqah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
”Semua anak bayi tergadaikan dengan ‘aqiqahnya disembelihkan hewan (kambing),……..dicukur rambutnya dan diberikan nama ” (HSR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasaa’i dan Ibnu Majah)
Rambutnya dicukur setelah menyembelih kambing, maksudnya adalah dicukur semua rambutnya, karena Rasulullah ? melarang al qaz’a (mencukur rambut sebagian dan membiarkan sebagian)
Di hadits yang lain Rasulullah ? bersabda, yang artinya :
“Bayi laki-laki di ‘aqiqahi dengan dua kambing yang sama dan bayi perempuan satu kambing” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Imam Shan’ani –rahimahullahu- dalam kitabnya Sublus Salam (4/1427) mengomentari hadits Aisyah -radhiaullahu anha- tersebut di atas dengan perkataan : “Hadits ini menunjukkan bahwa jumlah kambing yang disembelih untuk bayi perempuan ialah setengah dari bayi laki-laki”
Istilah ini berasal dari kata “’Aqqa-Ya’uqqu-Aqqan” yang artinya membelah dan memotong, dan secara istilah adalah menyembelih kambing karena kelahiran bayi.
Hukum ‘Aqiqah
Jumhur ‘ulama berpendapat tentang sunnahnya ‘aqiqah berdasarkan sabda Rasulullah ?:
“Barang siapa diantara kalian ingin menyembelih (kambing) untuk kelahiran bayinya, hendaknya ia lakukan” (HHR. Abu Daud, Nasaa’i, Ahmad, Abdur Razzaq)
Hadits ini menunjukkan tidak wajibnya ‘aqiqah, sebab dalam sabdanya, Beliau memberikan kebebasan dalam memilih.
Orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan ‘aqiqah tidak perlu menunggu hari ketujuh untuk menamai bayinya, sebagaimana kisahnya Ibrahim bin Abi Musa, Abdullah bin Abi Thalhah, demikian juga Ibrahim putra Rasulullah ? dan Abdullah bin Zubair semuanya diberikan nama sebelum hari ketujuh dikarenakan mereka tidak di ‘aqiqahi.
Barang siapa yang mempunyai kemampuan untuk melaksanakannya, maka hendaknya dia mengakhirkan penamaan bayinya pada hari ketujuh (Lihat Fathul Baari 9/587).
Dalil-dalil Syar’i Tentang ‘Aqiqah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
”Semua anak bayi tergadaikan dengan ‘aqiqahnya disembelihkan hewan (kambing),……..dicukur rambutnya dan diberikan nama ” (HSR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasaa’i dan Ibnu Majah)
Rambutnya dicukur setelah menyembelih kambing, maksudnya adalah dicukur semua rambutnya, karena Rasulullah ? melarang al qaz’a (mencukur rambut sebagian dan membiarkan sebagian)
Di hadits yang lain Rasulullah ? bersabda, yang artinya :
“Bayi laki-laki di ‘aqiqahi dengan dua kambing yang sama dan bayi perempuan satu kambing” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Imam Shan’ani –rahimahullahu- dalam kitabnya Sublus Salam (4/1427) mengomentari hadits Aisyah -radhiaullahu anha- tersebut di atas dengan perkataan : “Hadits ini menunjukkan bahwa jumlah kambing yang disembelih untuk bayi perempuan ialah setengah dari bayi laki-laki”
Waktu ‘Aqiqah
Dari Samurah bin Jundub berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
”Semua bayi tergadaikan dengan ‘aqiqahnya, disembelihkan hewan (kambing) pada hari ketujuh kelahirannya” (HSR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasaa’i dan Ibnu Majah)
Menyembelih kambing pada hari ketujuh bukan berarti hari itu juga dagingnya dimasak dan dimakan, namun bisa dilakukan pada hari-hari lainnya.
Imam Malik –rahimahullahu- berkata :”Apabila bayi itu meninggal sebelum hari ketujuh maka gugurlah sunnah ‘aqiqah bagi kedua orang tuanya”.
Telah sepakat para ‘ulama bahwa ‘aqiqah yang paling utama adalah hari ketujuh setelah kelahiran bayi, namun mereka berikhtilaf (berbeda pendapat) tentang bolehnya melaksanakan ‘aqiqah sebelum atau sesudah hari ketujuh. Dalam masalah ini tidak ada hadits yang shahih yang menyebutkan disyariatkannya ‘aqiqah selain hari ketujuh namun demikian banyak dari kalangan ‘ulama yang membolehkan mengadakan ‘aqiqah pada hari ke-14 atau ke-21 bagi yang belum mampu untuk melaksanakannya pada hari ke-7 (Lihat Fathul Baari 9:594)
Adapun cara menentukan hari ketujuhnya, Ibnu Hazm –rahimahullahu- dalam kitabnya Al-Muhalla (7/523) berkata : “Cara menentukan hari ketujuhnya yaitu mulai dari hari kelahirannya, sekalipun tinggal beberapa saat lagi akan habis (malam)”. Imam Malik –rahimahullahu- mempunyai pandangan lain dalam masalah ini, beliau berkata: “Hari kelahiran tidak termasuk hitungan satu hari kecuali sebelum terbit fajar pada malam hari itu juga” (Lihat Tuhfatul Maudud : 43). Dan pendapat ini pula dinisbatkan kepada Imam Syafi’i –rahimahullahu-. Dan Imam Ibnul Qayyim –rahimahullahu- cendrung kepada pendapat ini –Wallahu A’lam-
Dari Samurah bin Jundub berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
”Semua bayi tergadaikan dengan ‘aqiqahnya, disembelihkan hewan (kambing) pada hari ketujuh kelahirannya” (HSR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasaa’i dan Ibnu Majah)
Menyembelih kambing pada hari ketujuh bukan berarti hari itu juga dagingnya dimasak dan dimakan, namun bisa dilakukan pada hari-hari lainnya.
Imam Malik –rahimahullahu- berkata :”Apabila bayi itu meninggal sebelum hari ketujuh maka gugurlah sunnah ‘aqiqah bagi kedua orang tuanya”.
Telah sepakat para ‘ulama bahwa ‘aqiqah yang paling utama adalah hari ketujuh setelah kelahiran bayi, namun mereka berikhtilaf (berbeda pendapat) tentang bolehnya melaksanakan ‘aqiqah sebelum atau sesudah hari ketujuh. Dalam masalah ini tidak ada hadits yang shahih yang menyebutkan disyariatkannya ‘aqiqah selain hari ketujuh namun demikian banyak dari kalangan ‘ulama yang membolehkan mengadakan ‘aqiqah pada hari ke-14 atau ke-21 bagi yang belum mampu untuk melaksanakannya pada hari ke-7 (Lihat Fathul Baari 9:594)
Adapun cara menentukan hari ketujuhnya, Ibnu Hazm –rahimahullahu- dalam kitabnya Al-Muhalla (7/523) berkata : “Cara menentukan hari ketujuhnya yaitu mulai dari hari kelahirannya, sekalipun tinggal beberapa saat lagi akan habis (malam)”. Imam Malik –rahimahullahu- mempunyai pandangan lain dalam masalah ini, beliau berkata: “Hari kelahiran tidak termasuk hitungan satu hari kecuali sebelum terbit fajar pada malam hari itu juga” (Lihat Tuhfatul Maudud : 43). Dan pendapat ini pula dinisbatkan kepada Imam Syafi’i –rahimahullahu-. Dan Imam Ibnul Qayyim –rahimahullahu- cendrung kepada pendapat ini –Wallahu A’lam-
Qurban ‘Aqiqah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
”Untuk laki-laki dua kambing yang sama dan untuk perempuan satu kambing” (HHR. Abu Daud, Nasaa’i, Ahmad dan Abdur Razzaq)
Imam Al Khatthabi –rahimahullahu- berkata makna “dua kambing yang sama” yaitu “Sama umurnya, sama atau hampir sama besarnya dan sama waktu penyembelihannya (Lihat ‘Aunul Ma’bud 8/34)
Persyaratan kambing ‘aqiqah tidak sama dengan kambing qurban (‘Iedul Adha) karena tidak adanya dalil yang menunjukkan syarat-syarat sebagaimana pada kambing qurban.
Dan tidak sah ‘aqiqah seseorang yang menyembelih selain kambing seperti : burung, ayam, sapi, onta dll.
Ibnu Manzhur –rahimahullahu- berkata dalam Lisanul ‘Arab (4/2366): “Makna syaatun (dalam hadits, pen-) adalah ghanam, yaitu kambing baik jantan maupun betina…”.
‘Aqiqah Bertepatan Dengan ‘Iedul Adha
Jika ‘aqiqah bertepatan dengan ‘iedul Adha, maka pendapat yang rajih –wallahu a’lam- bahwa tidak sah apabila dikerjakan salah satunya (satu amalan dua niat) sebab ‘aqiqah dan udhiyah (qurban) adalah bentuk ibadah yang tidak sama jika ditinjau dari segi bentuknya dan tidak ada dalil yang menjelaskan sahnya mengerjakan salah satunya dengan niat dua amalan sekaligus. Sedangkan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
‘Aqiqah Orang Dewasa
Sebagian orang mengatakan bahwa apabila seseorang yang tidak di ‘aqiqahi pada masa kecilnya, maka boleh melakukannya sendiri ketika sudah dewasa. Mereka berpegang kepada hadits Anas yang berbunyi:
”Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meng’aqiqahi dirinya sendiri setelah beliau diangkat menjadi nabi”.
Sebenarnya mereka tidak mempunyai hujjah (dasar) sama sekali karena hadits tersebut dha’if (lemah) dan munkar.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abdur Razzak dan Abu Syaikh dari jalan Qatadah dari Anas ?.
Dalam sanad Abdur Razzak ada Abdullah bin Muharrar Al-Jazari dia matrukul hadits (tertolak haditsnya) sebagaimana dikatakan Daraquthni dan selainnya. Sedangkan dalam sanad Abu Syaikh ada Ismail bin Muslim Al-Makki, dia dhaif karena jelek hafalannya.-Wallahu A’lam-
Penggunaan Daging ‘Aqiqah
Seseorang yang melaksanakan ‘aqiqah boleh memakan daging sembelihannya, memberi makan dengannya, bersedekah dengannya kepada orang fakir miskin atau menghadiahkannya kepada teman-teman atau karib kerabat. Akan tetapi lebih utama apabila amalan-amalan tersebut dapat dilaksanakan semuanya, karena dengan demikian akan membuat senang teman-temannya yang ikut menikmati daging tersebut, berbuat baik kepada fakir miskin, dan akan membuat saling cinta antara sesama.
Jamuan ‘Aqiqah
Tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam diutus sebagai Nabi, Beliau tidak merubah dan mengingkari kebiasaan orang Arab yang berkumpul di rumah-rumah mereka untuk mengadakan penjamuan hidangan ‘aqiqah. Dan kalau seandainya Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengingkarinya, niscaya akan sampai kepada kita dengan sanad yang shahih atau hasan (berita tentang Beliau). Sedangkan ketidakingkaran Beliau menunjukkan pembenaran Beliau terhadap perbuatan tersebut, dengan menghindari hal-hal yang dilarang syariat tentunya, seperti Mubadzzir, ‘Ikhtilat (campur baur antara laki-laki dan perempuan) dan lain-lain, kita memohon taufiq dan kebenaran kepada Allah subhaanahu wa ta'ala.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
”Untuk laki-laki dua kambing yang sama dan untuk perempuan satu kambing” (HHR. Abu Daud, Nasaa’i, Ahmad dan Abdur Razzaq)
Imam Al Khatthabi –rahimahullahu- berkata makna “dua kambing yang sama” yaitu “Sama umurnya, sama atau hampir sama besarnya dan sama waktu penyembelihannya (Lihat ‘Aunul Ma’bud 8/34)
Persyaratan kambing ‘aqiqah tidak sama dengan kambing qurban (‘Iedul Adha) karena tidak adanya dalil yang menunjukkan syarat-syarat sebagaimana pada kambing qurban.
Dan tidak sah ‘aqiqah seseorang yang menyembelih selain kambing seperti : burung, ayam, sapi, onta dll.
Ibnu Manzhur –rahimahullahu- berkata dalam Lisanul ‘Arab (4/2366): “Makna syaatun (dalam hadits, pen-) adalah ghanam, yaitu kambing baik jantan maupun betina…”.
‘Aqiqah Bertepatan Dengan ‘Iedul Adha
Jika ‘aqiqah bertepatan dengan ‘iedul Adha, maka pendapat yang rajih –wallahu a’lam- bahwa tidak sah apabila dikerjakan salah satunya (satu amalan dua niat) sebab ‘aqiqah dan udhiyah (qurban) adalah bentuk ibadah yang tidak sama jika ditinjau dari segi bentuknya dan tidak ada dalil yang menjelaskan sahnya mengerjakan salah satunya dengan niat dua amalan sekaligus. Sedangkan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
‘Aqiqah Orang Dewasa
Sebagian orang mengatakan bahwa apabila seseorang yang tidak di ‘aqiqahi pada masa kecilnya, maka boleh melakukannya sendiri ketika sudah dewasa. Mereka berpegang kepada hadits Anas yang berbunyi:
”Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meng’aqiqahi dirinya sendiri setelah beliau diangkat menjadi nabi”.
Sebenarnya mereka tidak mempunyai hujjah (dasar) sama sekali karena hadits tersebut dha’if (lemah) dan munkar.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abdur Razzak dan Abu Syaikh dari jalan Qatadah dari Anas ?.
Dalam sanad Abdur Razzak ada Abdullah bin Muharrar Al-Jazari dia matrukul hadits (tertolak haditsnya) sebagaimana dikatakan Daraquthni dan selainnya. Sedangkan dalam sanad Abu Syaikh ada Ismail bin Muslim Al-Makki, dia dhaif karena jelek hafalannya.-Wallahu A’lam-
Penggunaan Daging ‘Aqiqah
Seseorang yang melaksanakan ‘aqiqah boleh memakan daging sembelihannya, memberi makan dengannya, bersedekah dengannya kepada orang fakir miskin atau menghadiahkannya kepada teman-teman atau karib kerabat. Akan tetapi lebih utama apabila amalan-amalan tersebut dapat dilaksanakan semuanya, karena dengan demikian akan membuat senang teman-temannya yang ikut menikmati daging tersebut, berbuat baik kepada fakir miskin, dan akan membuat saling cinta antara sesama.
Jamuan ‘Aqiqah
Tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam diutus sebagai Nabi, Beliau tidak merubah dan mengingkari kebiasaan orang Arab yang berkumpul di rumah-rumah mereka untuk mengadakan penjamuan hidangan ‘aqiqah. Dan kalau seandainya Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengingkarinya, niscaya akan sampai kepada kita dengan sanad yang shahih atau hasan (berita tentang Beliau). Sedangkan ketidakingkaran Beliau menunjukkan pembenaran Beliau terhadap perbuatan tersebut, dengan menghindari hal-hal yang dilarang syariat tentunya, seperti Mubadzzir, ‘Ikhtilat (campur baur antara laki-laki dan perempuan) dan lain-lain, kita memohon taufiq dan kebenaran kepada Allah subhaanahu wa ta'ala.
Semoga kesejahteraan dan keselamatan dilimpahkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarganya dan shahabat-shahabatnya serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka sampai di hari kiamat nanti Amin
Maraji’ :
1- Ahkamul ‘aqiqah, Abu Muhammad ‘Ishom bin Mar’i
2- Tuhfatul Maudud, Imam Ibnul Qayyim
3- Fathul Baari, Al Hafizh Ibnu Hajar
Terakhir Diperbaharui ( Thursday, 31 August 2006 )